Senin, 01 Oktober 2012

Asal Usul Pulau Muna

 Muna  pada awalnya dikenal dengan nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berati ‘bunga’. Merujuk pada tradisi lisan masyarakat Muna, nama itu    memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya, dimana terdapat gugusan batu yang berbunga yang menyerupai batu karang. Gugusan batu tersebut  pada waktu-waktu tertentu kerap mengeluarkan tunas-tunas yang tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka  masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu Kowuna’  artinya Batu Berbunga .  Gugusan batu berbunga tersebut terletak di  dekat Masjid  tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat  dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.

 Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4015’ samapi 4030’ lintang Selatan dan 122015’  – 123000’ Bujur Timur ( RPJMD Kabupuaten Muna 2010-2015 ), tepatnya diantara Pulau Sulawesi bagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Barat dan sebelah Timur Pulau Kabaena
Selain nama Pulau,  Muna juga menjadi nama  salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna  sebagai bahasa tutur diantara mereka.
 Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik,  Putra dari Raja Muna VI  Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi  Raja Muna  VII sehingga  jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna  jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di  kerajaan Muna  , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
Menurut La Kimi Batoa  pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus  penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara) (Sejarah Kerajan Daerah Muna CV. Astri Raha,1995).
Beberapa catatan sejarah mengungkapkan sebelum menjadi Raja di Kerajaan Muna, La Kilaponto terlebih dahulu diangkat menjadi Raja Muda di wilayah Gu dan Mawasangka selama tiga tahu ( 1530-1538 ). Kedua wilayah tersebut dikenal dengan nama  “Ponto” yang diambil dari nama sejenis bambu yang kuat dan keras. Penamaan “Ponto” tersebut karena  seseorang yang menjadi Raja Muda diwilayah itu  akan ditempah menjadi seseorang yang cerdas, kuat dan keras jiwanya dalam memperjuangkan keadilan dan menumpas kesewenang-wenangan terhadap orang lain. Sehingga ketika benar-benar telah menjadi Raja disebuah kerajaan yang besar dia telah memiliki jiwa tersebut dan menjadi Raja yang adil dan mengayomi serta melindungi rakyatnya dari tindakan kesewenang-wenangan dari pihak manuapun juga.
Bila menilik catatan mengenai masuknya agama islam dikerajaan Muna,  boleh jadi misionaris  islam pertama Syehk Abdul Wahid pertama kali menyebarkan agama Islam di kerajaan Muna pada tahun 1530 ( Courveur ; 19..)  bukan dipusat kerajaan Muna di kota Muna Kawuna-Wuna  yang saat itu sedang dipimpin oleh Sugi Manuru , tetapi diwilayah “ Ponto” yang dipimpin oleh La Kilaponto putera Sugi Manuru sebagai Raja Muda .
Asumsi ini diperkuat oleh fakta di mana saat ini kedua wilayah tersebut masyarakatnya dikenal sebagai pemeluk agama  islam yang taat. Selain itu wilayah Gu da Mawasangka adalah wilayah Pulau Muna yang berhadapan langsung dengan lautan bebas sehingga memudahkan para musyafir untuk menyinggahinya di banding dengan pusat Kerajaan Muna yang tereltak dipedalaman dan diatas bukit. Dalam Buku Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Darul Munajat juga mengisahkan bahwa salah seorang utusan Nabi SAW yakni Abdul Sukur menemukan Pulau Muna dan langsung menancapkan bendera yang dibawahnya di Waara ( Wamengkoli ) yang masuk dalam wilayah “ Ponto” tersebut. Jadi berdasarkan hal tersebutlah sehingga La Kilaponto merasa sudah menyatu dengan masyarakat kedua wilayah tersebut, sehingga ketika dilantik menjadi raja Buton, kedua wilayah tersebut juga dimintakan untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Sebagai pewaris tahta kerajaan yang diwariskan dari kakanya La Kilaponto, La Posasu tidak keberatan dengan pembagian tersebut. Apalagi selain membagi wilayah kerajaan, dalam perjanjian itu juga disertakan suatu perjanjian bahwa kedua kerajaan itu ( Muna dan Buton ) adalah kerajaan yang bersaudara dan saling membantu bila ada kesusahan atau gangguan dari luar yang dialami oleh salah satunya.
Perjanjian itu tetap dipegang teguh oleh kedua kerajaan sampai kemudian kolonial Belanda masuk mengintervensi Kesultanan Buton dan memaksa Sultan Buton saat itu ( Dayanu Ikhsanuddin)  untuk memasukkan dalam konstitusinya yang dikenal dengan martabat Tujuh bahwa Kerajaan Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton dengan status “barata” ( wilayah dengan otonomi penuh ). Sejak saat itulah dua kerajaan yang sebelumnya bersaudara tersebut saling memusuhi dan menyerang satu sama lain.
Banyak kisah yang menceritakan tentang asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu diceritakan dalam  tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita/hikayat tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian  tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton. Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut serta beberapa hasil penelitian ilmiah mengenai situs-situs purba kala dan formasi bebatuan yang di Pulau Muna.

A. HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT ”
Hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan  bahwa ketika Nabi Muhammad SAW.  mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat.  Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang  terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh  Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton )  yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau  ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna  – ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan  hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”  mengenai  asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton  diatas secara ilmiah  tidak dapat-  dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya  Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah  mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.

B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Kendatipun tradisi lisan  tersebut  dibumbuhi dengan miros-mitos namun banyak digunakan sebagai referensi para sejarawan dalam menulis Sejarah Muna.
 Dalam tradisi lisan masyarakat Muna itu   dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang. Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernamaBAHUTARA Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut. 
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal  Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang  kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup beratus-ratus tahun  dikalangan masyarakat Muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu  tertentu  mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu Kowuna”yang artinya batu  berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna, yaitu sebuah gugusan pulau yang muncul dari dasar lautan namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena juga dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih. Terutama mengenai tahun pemunculannya sebagai pulau.
 C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan  dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng yang ternyata saudara kembarnya.  Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara  Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar)  di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
“ Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu”.  ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR. Anghar Gonggong). 
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi. Olehnya itu Epik I Lagaligo juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadinya Pulau Muna.
Asal mula terbentuknya kerajaan Wuna dikaitkan dengan epik I Lagaligo akan diulas  artikel berikutnya Bheteno ne Tombula Raja Wuna Pertama.

D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah  seperti yang dapat dilihat pada panel monitor  museum karts Indonesia  yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. 
Dari panel tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya  agak berbeda yaitu putih. Tempat itu sekarang dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti secara ilmiah adalah relief yang ada di  gua Liangkobori dan gua Metanduno.Relief  yang terdapat  di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari  25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia. Hasil penelitian ini mematahkan pendapat sebagai mana yang dikisahkan dalam buku Assajaru uliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat dan trad.  isi lisan masyarakat Muna.
Dengan melihat relief yang ada didinding gua Liangkobori dan Metanduno kita dapat mengetahui pola hidup dan kebudayaan Orang Muna sejak ribuan tahun yang lalu.  Relief - relief tersebut menceritakan bahwa Orang  Muna saat itu telah menguasai teknologi kelautan dan telah melakukan penjelajahan samudera. Dari kebiasaan itulah yang memungkinkan Orang Muna bermigrasi dan menempati pulau-pulau lain disekitar Pulau Muna.
Jadi berdasarkan fakta ilmiah tersebut maka penulis berkesimpulan bahwa Pulau Muna pada awalnya merupakan terumbu karang. Namun setelah terjadi desakan akibat pergerakan kulit bumi, maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan membentuk sebuah pulau karang. Berdasarkan formasi bebatuan yang dimiliki sebagaimana yang ada di panel monitor Museum Karts di Jawa Tengah, kejadian munculnya  Pulau Muna kepermukaan tersebut sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.
Merujuk pada usia relief yang ada di dinding gua Liangkobori dan Metanduno, Pulau Muna mulai dihuni oleh manusia jauh dari usia relief tersebut. Sebab bila melihat motif lukisan yang ada di dinding kedua gua tersebut maka manusia yang membuatnya telah memiliki peradaban yang tinggi yaitu telah mengenal teknologi kelautan dan astronomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar