Selasa, 02 Oktober 2012

"Anomali" Dalam Cerpen La Rangku

Kaghati, Layang-layang tradisional Wuna, Foto ; http://wisata-muna.blogspot.com

“Lantas, Bapak bercerita tentang layang-layang pertama, tentang Kaghati dari Muna; tentang seorang raja bernama La Pasindaedaeno yang mengorbankan anaknya, La Rangku, yang kemudian di makamnya tumbuh gadung; tentang layang-layang dari daun gadung dengan benang dari serat daun nanas, Kaghati, yang diterbangkan selama tujuh hari tujuh malam lalu benangnya diputus pada malam terakhir; tentang kepercayaan suku Muna pada Kaghati yang akan terbang mencapai matahari, dan memberkati mereka….” (“La Rangku”, halaman 19).
Itulah sebagian dari cerita pendek (Cerpen) “La Rangku” karya Niduparas Erlang. Karya itu merupakan pemenang lomba manuskrip cerpen Festival Seni Surabaya, beberapa waktu lalu, yang mengangkat tema anomali. Ada yang menyebutkan bahwa cerita-cerita dalam kumpulan cerpen tersebut merupakan kumpulan ketidaklaziman yang beredar dalam masyarakat modern.
Judul cerpen yang terangkum dalam kumpulan cerpen La Rangku tersebut ialah “Api Terus Menggelora dalam Matanya”, “La Rangku, “Tarawengkal”, “Pernikahan Itu”, “Balon Itu Menyimpan Sisa Napasnya”, “Re”, “Sayap Malaikat Ini Untukmu”, “Sesuatu Retak di Senja Itu”, “Aku Harus Tidur Purna”, “Gaco”, dan “Sula”. Cerpen-cerpen itu, secara langsung maupun tidak, bersinggungan dengan kebiasaan sehari-hari serta budaya dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Anomali merupakan bentuk dari ketidaknormalan, ketidaklaziman, kontradiksi, atau hal-hal yang terkait dengan sebuah pertentangan yang tidak bisa diterima begitu saja dengan pasrah. Itu sebabnya, ketika membahas cerpen ini di Rumah Dunia, Serang, Banten, Sabtu pekan lalu, berbagai macam sudut pandang atau perspektif bermunculan.
Ada yang menyebutkan bahwa cerita-cerita yang terangkum dalam cerpen tersebut merupakan cerita budaya yang coba kembali dikuak dalam kehidupan. Kutipan paragraf di atas bisa menjadi sebuah anomali yang besar dan konkret dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia, pada zamannya, memercayai kaghati, yakni sebuah layang-layang yang terbang selama tujuh hari tujuh malam dan mencapai matahari. Saat itu, kebiasaan mendongeng atau budaya literasi biasa dilakukan orang tua pada anaknya atau nenek pada cucunya.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan konteks kekinian, jangankan budaya bercerita dan mendengar, budaya membaca pun sudah mulai lekang. Hal itu dikarenakan derasnya arus globalisasi yang selanjutnya sulit dikontrol. Kebiasaan serta budaya dan kebudayaan lain juga bisa dimaknai dalam paragraf berikut. “Demikianlah, di kampung ini, tatkala didapati seorang warganya pergi jauh meninggalkan kampung-direnggut maut-maka para lelaki muda atau tua akan berbondong-bondong berdatangan ke rumah Sahibul Musibah dengan membawa kapak atau golok.
Mereka akan menebang pohon, menebang bambu, menebang batang pisang…dan membelah kayu bakar. Setumpuk kayu bakar-bukan untuk membakar almarhum-harus disiapkan demi melanggengkan tradisi tahlilan selama satu minggu ke depan.” (“Tarawengkal”, halaman 29-30).
Kehidupan Sehari-hari Terkait tema anomali yang telah ditetapkan panitia, Niduparas Erlang menjelaskan bahwa dirinya tidak terperangkap tema yang telah dibuat oleh panitia. “Saya punya beberapa cerpen yang pernah dimuat di media massa, baik lokal maupun nasional, dan juga karya yang belum sama sekali dimuat di media massa.
Lalu karya cerpen tersebut selanjutnya saya kirimkan ke lomba manuskrip cerpen Festival Seni Surabaya,” tutu dia saat diskusi digelar. Ade Dewi Oktaviana, seorang pembedah cerpen dalam diskusi, menyebutkan cerita-cerita dalam cerpen “La Rangku” sarat akan peristiwa kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kata dia, sang pengarang cukup fasih menggunakan bahasa dalam penulisan karyanya. “Inilah yang selanjutnya menjadi salah satu modal bagi penulisnya ketika melancarkan ide-idenya dalam sebuah cerita. Dengan kata lain, kata, diksi, atau bahasa tidak hanya dijadikan peranti cerita, tetapi juga dijadikan kekuatan dalam cerita. Hal ini pulalah yang selanjutnya membuat cerpen “La Rangku” kaya akan bahasa atau diksi-diksi segar,” tutur Dewi. frans ekodhanto
Sumber : Koran Jakarta,  Edisi Digital

Tidak ada komentar:

Posting Komentar