Selasa, 02 Oktober 2012

Yang Unik-unik di Pulau Muna


 
 
 
 
 
 
Rate This

1. POGIRAHA ADHARA ( MUSTANG FIGHTING )
Pogiraha Adhara ( Mustang Fighting ) adalah salah satu atraksi budaya suku Bangsa Wuna di Propinsi Sulawesi Tenggara. Atraksi ini merupakan atraksi unik dan satu-satunya di dunia. Dengankemampuan yang dimilikinya seorang pawang dapat mengendalikan kuda yang sedang marah dan dalam waktu singkat dapat memulikan mental yang telah kalah dalam pertarungan dan mengembalikannya kearena untuk bertarung.
2. IKAN BUTA
Ikan Buta adalah species ikan yang hidup dalam gua-gua yang ada di Pulau Wuna. Ikan-ikan ini memiliki warna-warnah mencolok seperti merah, kuning dan abu-abu. Ikan buta adalah merupakan spesies endemik yang hanya dapat di temui dalam gua-gua yang ada di Pulau Muna
3. GUA LIANG KOBORI
Gua Liangkobori yang terletak di Pulau Wuna adalah satu-satunya situs purbakala yang ada Suawesi Tenggara . Situs itu berbentuk relief yang ditulis di dinding gua dengan mengunakan zat pewarna yang sampai sat ini belum diketahui jenisnya. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1500SM. Relief itu menggabarkan peradaban dan kebudayaan Orang Muna yang telah mengenal teknologi kelautan dan Ilmu perbintangan. SitusLiangkobori terletak sekitar 12Km dari Kota Raha Ibu Kota Kabupaten Muna dan dapat ditempuh dengan menggunakan kedaraan umum dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.

Mengenang Kehidupan Purbakala Suku bangsa Wuna Melalui Wisata Gua Liangkobori

Salah satu Relief di Gua Liangkobori


A. Selayang Pandang

Liang Kobori adalah nama lain dari Gua Kobori, peninggalan nenek moyang masyarakat suku Muna. Nama liang kobori berasal dari bahasa Muna yang berarti Gua tulis. Penamaan ini cukup tepat karena di sepanjang dinding di dalam gua, terdapat aneka lukisan yang berjejer rapi.
Diperkirakan, lukisan yang terdapat di dalam gua ini sudah berumur ratusan tahun. Perkiraan tersebut, didukung oleh temuan seorang peneliti dari Jerman yang pernah melakukan penelitian di lokasi Liang Kobori. Peneliti tersebut mengungkapkan, lukisan yang terpahat indah itu berasal dari zaman prasejarah atau sekitar 4.000 tahun silam.
Liang Kobori memiliki lebar 30 meter, tinggi antara 2 sampai 5 meter, dan kedalaman di bawah tanah sekitar 50 meter. Liang Kobori tersusun dari bebatuan stalaktit dan stalagmit yang berwarna kehitam-hitaman.

B. Keistimewaan

Di dalam Liang Kobori, tersimpan sebuah misteri kehidupan masyarakat prasejarah dari suku Muna. Hal tersebut tergambar pada 130 aneka lukisan berwarna merah yang terdapat pada dinding-dinding gua, mulai dari pintu masuk hingga pada bagian terdalam gua.
Dari berbagai aneka lukisan tersebut, tergambar cara hidup masyarakat suku Muna pada masa lalu mulai dari cara bercocok tanam, berternak, berburu, berdapatasi dengan lingkungan, dan berperang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Diantara lukisan (gambar) yang ada dalam gua itu adalah gambar seseorang yang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda, serta gambar layang-layang yang merupakan salah satu media ritual masyarakat Muna pada saat itu. Dari lukisan-lukisan itu, terdapat sebuah pesan simbolik dari masyarakat suku Muna purba begi generasi muda mereka tentang arti nilai sejarah dengan mencatat setiap peristiwa yang mereka alami.
Yang menarik dari gambar-gambar tersebut adalah misteri dibalik pemilihan bahan dan warna yang dipakai untuk melukis. Walaupun lukisan telah berusia ribuan tahun, tetapi warnanya tetap bagus dan masih terlihat dengan jelas. Tentunya ini sangat kontras dengan penggunaan warna pada saat sekarang yang mudah hilang dalam waktu cepat.
Bukti sejarah yang ditinggalkan oleh masyarakat suku Muna yang terdapat di dalam Liang Kobori menanti kedatangan para pelancong yang gemar dengan wisata gua atau para peneliti yang bergerak dalam bidang kepurbakalaan. Lokasi ini dapat menjadi alternatif tamasya alam sekaligus tempat menimba pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan dunia kepurbakalaan.
Selain aneka lukisan, gua ini juga menyimpan keunikan yang lain. Di dalam Liang Kobori terdapat kawanan burung walet yang hidup dan membuat sarang. Keberadaan burung-burung tersebut menjadi nilai tambah bagi keberadaan Liang Kobori sebagai tempat tujuan tamasya.

C. Lokasi

Liang Kobori terletak di Desa Mabolu, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara,Indonesia.

D. Akses

Untuk mencapai lokasi, para wisatawan dapat menggunakan beberapa alternatif perjalanan, yaitu menggunakan kapal laut atau pesawat perintis. Jika menggunakan kapal laut, perjalanan dimulai dari Pelabuhan Nusantara di Kota Kendari menuju Pelabuhan Raha (Ibu Kota Kabupaten Muna) dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Sementara jika menggunakan pesawat perintis, perjalanan dimulai dari Bandara Walter Monginsidi yang terletak di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara menuju Bandara Sugimanuru yang terdapat di Kabupaten Muna atau 25 km dari Kota Raha. Setelah sampai di Bandara Sugimanuru, pejalanan dilanjutkan ke Kota Raha menggunakan angkutan umum dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari Kota Raha, perjalanan dilanjutkan ke lokasi tepatnya di Desa Mabolu yang berjarak 10 km dengan waktu tempuh sekitar 15 menit perjalanan.

E. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di Ibu Kota Kabupaten Muna (Kota Raha) terdapat hotel yang nyaman untuk tempat menginap. Bagi para wisatawan yang datang dari luar kota dan ingin berlama-lama di Kabupaten Muna dapat menginap di hotel yang ada di kota tersebut. Sementara untuk kebutuhan makanan, para wisatawan dapat memilih tempat yang sesuai untuk bersantap, karena di Kota Raha banyak terdapat warung makan dan restoran yang menyajikan beraneka menu makanan.
Apabila ingin mengenal lebih jauh kekayaan alam dan obyek wisata lainnya yang terdapat di Kabupaten Muna para pelancong dapat memanfaatkan jasa agen perjalanan yang ada di Kota Raha untuk membantu perjalanan selama berada di Kabupaten Muna

Sekelumit Tentang Pesona Pulau Muna



Pulau Muna merupakan salah satu pulau yang cukup menarik di Sulawesi Tenggara. Dengan kondisi pulau yang tersusun oleh batuan karst, membuat Pulau Muna menjadi pulau yang tampak keras karena di beberapa tempat memiliki kondisi lingkungan yang kering dan tandus.
Namun di beberapa lokasi, Pulau Muna menawarkan pesonanya tersendiri. Kalau kita mengunjungi Desa Oempu, Walengkabola, disana kita akan disuguhkan oleh pemandangan pantai yang indah dan keramahan penduduk meskipun untuk mencapai desa ini kita harus melalui daerah yang cukup gersang hanya ditutup oleh semak.
Memasuki desa, rumah-rumah panggung berjejer sepanjang jalan dengan pagar batu. Di suatu tempat, tampak penduduk membawa jerigen, alat mandi atau pun gerobak pembawa air. Di tempat itu, ternyata terdapat mata air di sebuah gua yang digunakan oleh penduduk untuk mandi dan cuci.
Gua dengan mata air berair tawar ini sangat menarik karena tersebar di beberapa tempat di Desa Oempu, Walengkabola, sehingga penduduk tidak hanya bergantung pada satu gua melainkan ada lebih dari tiga diluar sumur-sumur kecil yang digunakan untuk tempat mengambil air minum.
Selain gua dengan mata air, Desa Oempu, Walengkabola juga memiliki danau-danau karst yang berwarna biru. Di salah satu danau, dgunakan sebagai tempat wisata, dimana setiap musim liburan sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat dari luar Walengkabola. Danau yang berair payau ini digunakan juga untuk memelihara penyu. Konon, danau-danau ini dihubungkan oleh sebuah gua yang terhubung ke laut.
Begitu juga gua-gua yang memiliki mata air juga berhubungan dengan laut melalui sebuah gua yang baru sedikit yang telah di eksplorasi oleh cave diver dari Perancis, Australia dan Spanyol.
Desa Oempu, Walengkabola juga menawarkan pantai berpasir putih yang cukup indah dengan beberapa pohon kelapa yang melambai-lambai. Di salah satu sudut desa juga sudah dibuat semacam gazebo untuk menikmati pemandangan pantai indah dan di seberah nampak Pulau Buton.
Jauh dari Desa Oempu, terdapat juga danau karst yang mudah dicapai dari Raha menuju Danau Napabale. Danau ini menawarkan juga keindahan danau karst yang sekaligus juga dapat menyewa perahu untuk mengarungi danau.
Selain dengan keindahan alam, Pulau Muna juga memiliki potensi masyarakat dengan kerajinan tangannya yaitu tenun sarung. Di salah satu desa, di setiap rumah ada perempuan muda yang sedang menenun di bawah rumah panggungnya.
Konon, sarung-sarung dari Muna ini banyak dikirim ke beberapa daerah. Waktu itu, saya sempat beli sarung hasil tenun tangan ini dengan harga yang cukup murah. Mungkin harga akan lebih mahal di pasar-pasar di luar Pulau Muna.
Selamat menikmati Pulau Muna.
Sumber : http://biotagua.org/2011/07/05/muna/

Usai Main Layangan Menyusuri Danau Napabale di Muna




MUNA, KOMPAS.com – Sejumlah peserta Festival Layang-Layang Internasional asal mancanegara tak sabar mengunjungi beberapa obyek wisata di Kabupaten Muna, sulawesi Tenggara. Mereka bergegas tamasya usai main layang-layang.
Beberapa obyek wisata yang dikunjungi sejumlah wisawatan mancanegara itu antara lain permandian alam Napabale di Kecamatan Lohia, sekitar 20 Km dari Kota Raha dan Liang Kobori, sekitar 10 Km dari Kota Raha.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Muna, Hasanuddin Rabali di Raha Rabu (12/8) mengatakan, peserta festival asal mancanegara yang mengunjungi lokasi obyek wisata Liang Kobori dan permandian Napabale itu didampingi dua orang pemandu dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Muna.
Menurut Hasanuddin, dalam jadwal peserta festival dari mancanegara itu sebenarnya mereka akan berkunjung ke beberapa tempat obyek wisata di Kabupaten Muna pada Kamis (13/8), namun peserta festival dari Prancis, Jerman dan China tampak tidak sabar untuk menikmati keindahan obyek wisata alam di daerah itu.
“Setelah mengikuti festival layang-layang tadi pagi, mereka (wisatawan) langsung ingin mengunjungi obyek wisata tersebut pada siang dan sore harinya mereka kembali lagi ke arena festival di lapangan Sarana Olahraga (SOR),” ujarnya.
Wisatawan mancanegera itu mengunjungi lokasi obyek wisata permandian danau Napabale ini karena memiliki keunikan tersendiri, yakni air danau itu terasa asin karena memiliki terowongan yang berhubungan dengan laut sepanjang 500 meter.
“Bila air laut surut, pengunjung bisa menikmati keindahan air dalam terowongan itu dengan menggunakan sampan (perahu kecil), namun harus berhati-hati karena sangat berbahaya bagi pengunjungbaru yang akan mencoba menelusuri terowongan itu, kecuali dengan pemandu dari masyarakat lokal,’ ujarnya.
Selain itu peserta festival layang-layang dari luar negeri itu juga mengunjungi lokasi wisata alam goa Liang Kobori yang memiliki lukisan bersejarah di zaman dahulu kala.
Di dalam goa itu terdapat lukisan bersejarah antara lain terdapat sekitar 300 jenis gambar binatang pada dinding goa seperti babi, anjing, kuda dan kalajengking.
Sumber :
Antara

Kiasah Tentang Tua Sare/ La Baaluwu


Ewa Wuna, Pencak Silat khas Wuna  Foto ; https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS2zYDZclZHxizw3yzevNg8rZZZs6PszcviePLy21ljiI0gfdQeeQ

Raja Muna pertama adalah La Eli/ Baidhul Dhamani gelar Bheteno Netombula putera Raja Luwu, namun ada juga yang mengatakan bahwa Bheteno Netombula kemungian keturunan Raja-Raja Majapahit yang terdampar di Pulau Muna. Ada juga yang mengisahkan La Eli adalah Sawerigang, Putera raja Luwu, Kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Kisah tentang Sawerigading ini diceritakan dalam epik I Lagaligo.

Dugaan La Eli berasal dari Kerajaan Majapahit, karena nama lain dari La Eli adalah Baidhul Dhamani, yang diperkirakan akibat pengaruh agama islam. Sedangkan dugaan La Eli adalah Sawerigading karena menurut tradisi lisan masyarakat Muna, kapal Sawerigading paerna terdampar di pulau Muna. Kisah terdamparnya Sawerigadi tersebut sebagaimana yang berkembang dalam tradisi lisan masyrakat Muna sebagai awal terbentuknya Pulau Muna. Hal lain yang memperkuat dugaan itu adalah dikisahkan, La Eli/ Baidhul Dhamani menikahi seorang Gadis yang dalam kondisi hamil yang bernama Wa Tandi abe. Nama ini memilikn dinikai kemiripan dengan We Tendriabeng, saudara kembar Sawerigading yang sepmpat akan dinikahi, namun ditentang ayahandanya dan petinggi kerajaan Luwu karena itu bertentangan dengan Norma adat yang diyakini oleh masyarakat Kerajaan Luwu.

La Eli/ Badhul Dhamani, mendapat gelar Beteno netombula,  sebab berdasarkan tradisi lisan masyarakat Muna dia ditemukan dalam rumpun bambu oleh serombongan orang yang ditugaskan mencari bambu pada saat Mieno Wamelai (salah seorang pemimpin kampung di Muna) akan mengadakan pesta. Rombongan yang menemukan La Eli/Baidhul Dhamani dalam rumpun bambu tersebut dipimpin oleh Mieno Tongkuno. 

Bheteno Netombula menikah dengan Tandri Abe yang ditemukan terdampar di laguna Napabale beberapa saat setelah penemuan Bheteno Netombula.Perkawinan keduanya melahirkan tiga orang anak yaitu Runtu Wulae, La Aka/ Sugi Patola dan Kilambibito.

Setelah Dewasa Runtu Wulae kembali ke Luwu negeri leluhurnya kemudian menjadi raja di sana, sedangkan La Aka/ Sugi Patola menjadi Raja Muna II dan Kilambibito menikah dengan La Singkabu Mieno Wamelai. Suatu waktu ketika Sugi Patola menjadi Raja Muna dan Runtu Wulae telah menjadi Raja Luwu, Sugi Patola mengadakan perlawatan di Negeri Luwu menemui saudaranya Runtu Wulae. 

Pada saat Kembali ke Muna, Sugi Patola meminta pada saudaranya agar diperkenangkan untuk membawa beberapa orang yang memiliki keahlian seperti bertani, membuat kapal dan menyadap nira ke kerajaan Muna. Salah seorang yang dibawah tersebut yaitu yang memiliki keahlian menyadap, diangkat menjadi juru sadap pribadi raja dan diberi gelar ‘Tuasare’ ( bahasa bugis: tukang sadap tuak). 

Setiap hari Tuasare harus menyediakan kameko ( sejenis tuak dari pohon enau) untuk kebutuhan raja dan tamu-tamu raja. Apabila dia tidak mampu menyediakan kameko seperti yang diminta raja maka Tuasare mendapat hukuman dicambuk. Karena seringnya dicambuk maka luka bekas cambukan tersebut membekas dipunggunnya.

Suatu pagi saat Tuasare hendak melakukan aktifitasnya menyadap enau tiba-tiba dia menemukan seseorang telah mendahluinya diatas pohon. Melihat hal itu Tuasare sangat berang, dan begitu orang yang mencuri 'kameko' nya turun langsung disambutnya dengan tikaman, bacokan serta pukulan. Orang yang diserangtersebut ternyata tidak mau mengalah begitu saja sehingga terjadi perkelahian yang sengit. Hampir sore perkelahian itu belum juga berhenti hingga akhirnya lawan Tuasare menyerah.
“ ampun….. saya menyeraha…. asal kamu tidak bunuh saya apapun yang tuanku minta saya akan penuhi ” Ratap lawan Tuasare tersebut yang ternyata siluman.
“ Saya mau membebaskanmu asal kamu bisa menjadikan saya seperti tuanku” bentak Tuasare.
“ Oke permintaan tuanku saya penuhi” jawab siluman itu. 
Ajaibnya dalam sekejab Tuasare berubah menjadi sepotong bambu. Potongan bambu tersebut kemudian dibawah oleh siluman itu ke Wadiabero, Pulau Muna bagian Selatan yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kec. Wadiabero Kabupaten Buton dan membuangnya kelaut .

Beberapa saat kemudian seorang nelayan dari Baruta, kampung sekitar Wadiabero yang sedang mengambil bubunya di pantai menemkan bubu yang dipasangnya tidak berisi ikan atau binatang laut lainnya,  tetapi sepotong bambu. Menganggap potongan bambu itu adalah potongan bambu biasa maka dia kembali membuangnya kelaut dan melanjutkan mengambil bubunya yang lain. Tapi betapa terkejutnya dia begitu bubunya diangkat ternyata isi bubunya bukan ikan tetapi bambu yang sama yang beberapa saat yang lalu dibuangnya.

Kejadian sama terjadi sampai tiga kali sehingga nelayan tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan mengangkat bubunyayang lain tetapi langsung pulang kerumah dan membawa potongan bambuitu. Sesampainya dirumah nelayan itu menyimpan bambu yang didaptnya tadi di ‘sikua” sudut rumahnya.

Sejak bambu yang ditemukan saat mengangkat bubu tersebut ada dirumah nelayan itu terjadi hal yang aneh, dimana setiap hari air yang ada dalam bhosu ( tempat air yang terbuatdari tanah liat ) setiap pagi didapatinya dalam keadaan kosong padal sorenya telah diisi penuh. Mendapat hal yang aneh tersebut, nelayan itu kemudian menyusun siasat untuk mengintip siap sebenarnya yang telah memakai airnya. Suatu subuh dalam pengintaiannya, nelayan itu mendapati seorang laki-laki sedang mandi memakai air dalam bhosu yang telah diisi sore kemarin.

Merasa sudah cukup bukti akhirnya nelayan itu menangkap lelaki yang mencuri airnya tersebut. Namun betapa terkejutnya sebab orang yang ditangkap itu mengaku jelmaan dari bambu yang ditemukan di laut dan dismpinnya di sikua dan bernama La Baaluwu ( Orang dari Luwu). Tidak percaya dengan pengakuan laki-laki tersebut nelayan itu bergegas melihat bambu yang telah disimpanya di sikua bebeapa hari yang lalu. Anehnya bambu tersebu tternyata benar-benar sudah tidak ada.

Setelah kembali menjadi manusia normal, Tuasare ( La Baaluwu) kemudian berpamitan pada orang yang telah menemukannya untuk pergi menuju ke Negeri Wolio yang kabarnya Rajanya Seorang perempuan ( Bulawambona ) belum bersuami. Sesampai di Kerajaan Wolio, La Baaluwu menghadap ke istanah kerajaan Wolio dan melamar Raja Bulawambona untuk dijadikan issterinya. Setelah lamarannya diterima maka resmilah mereka menjadi Suami Isteri.

Salah seorang anak dari La Baaluwu dengan Bulawambona diberi nama Banc(s)a Patola yang artinya mayang patola. Penamaan itu utuk mengenang tuanya Raja Muna II Sugi Patola, yang telah membawahnya dari Kerajaan Luwu ke Kerajaan Wuna.

Pesona Danau Napabale


Danau Napabale di Pulau Muna Sulawesi Tenggara


Formuna, Raha – Danau Laut Napabale yang menakjubkan. Keunikan alam ini, karena air laut terjebak cincin karang yang akhirnya membentuk cawan. Air berkubang luas dilingkari bukit-bukit karang yang tinggi dan terjal. Bukit rimbun menghijau nan kokoh seperti benteng penjaga Napabale yang mirip lukisan vagina alam. Napabale yang terletak di tebing tinggi Lohia, dekat pantai dengan pemandangan Selat Buton. 

Dari kejauhan, nampak air laut mengalir lewat gua-gua kecil di kaki bukit karang. Ada tiga karang besar yang ditumbuhi pepohonan liar. Bentuknya seperti tube fallopi, dan tempat ini menjadi lorong jutaan berbagai spesies ikan laut yang hidup di Selat Buton.
Napabale berjarak sekitar 15 Km dari Kota Raha Ibu kota Kabupaten Muna Propnsi Sulawesi Tenggara. Posisinya yang dikelilingi oleh bukit-bukit karang serta dihubungkan dengan laut oleh sebuah terowongan menghadirkan sebuah panorama alam yang sangat indah untuk dinikmati.
Pesona alam napabale yang dikelilingi oleh bukit karang yang seakan membentenginya, dapat menghilangkan kepenatan setelah disibukan dengan berbagai kesibukan yang menegangkan otot dan saraf. Lambaian bunga-bunga anggrek batu di sepanjang dinding danau yang mengelilinginya mampu menyejukkan perasaan yang sebelumnya diliputi oleh kegundahan. Barisan berbagai biota yang ada di dalamnya juga seakan tak mau ketinggalan untuk menghibur setiap pengunjung di Danau tersebut.
Bila anda ingin menikmati pemandangan laut selat Buton anda dapat menyewa perahu yang disediakan penduduk untuk menuju lalut dengan melewati terowongan bila air laut lagi susurt, atau dengan berjalan kaki sekitar 20 meter melewati batu-batu karang.
Panorama alam Napabale semakin mempesona bila senja menjelang. Langit yang merona merah seakan turut mengantar para nelayan yang mulai turun kelaut untuk memulai aktiitas mencari ikan. Dari Danau Napabale para nelayan tersebut mulai mengayuh perahu koli-koli mereka menuju selat buton dengan melalui terowongan alam Danau Napabale . Diselat Buton perahu yang lebih besar yang biasa disebut bagang oleh masyarakat setempat telah menanti dan siap membawa mereka ke lautan lepas yang dipenuhi berbagai jenis ikan untuk ditangkap.
Sebenarnya selain keindahan panorama alamnya, Napabale juga memiliki nilai historis yang sangat penting dalam sejarah peradaban Kerajaan Wuna ( Muna ), sehingga sangat sayang untuk dilewatkan bila berkunjung di Kabupaen Muna. Dengan erkunjung ke danau Napabale, selain anda dimanja dengan keindhan panorama alamnya anda juga dapat bernostalgia mengenang kisah cinta antara Raja Muna I Bheteno Netombula dengan Permaisurunya Wa Tandri Abe.
Dikisahkan dalam lengenda masyarakat Wuna, bahwa beberapa waktu setelah ditemukan Bheteno Netombula ( Orang yang muncul dari bambu ) dalam rumpun bambu, saat sekelompok orang yang sedang mencari bambu untuk kebutuhan pembuatan bangsal dalam rngka pesta yang akan diselenggarakan oleh Mieno Wamelai, ditemukan pula seorang gadis yang terdampar di Napabale. Gadis tersebut dikisahkan menumpang sebuah talam sehingga oleh masyarakat Wuna memberinya Nama “Sangke Palangga” artinya orang yang ,meumpang Palangga/ Talam.
Penemuan gadis oleh masyarakat Lohia yang bermukim di sekitar Danau Napabaletersebut didengar oleh para petinggi kampung di Kawuna-wuna ( kemudian menjadi pusat Kerajaan Wuna sebelum dipindah ke Tongkuno ), yang berjarak sekitar Tujuh Kilometer dari Napabale. Mendengar kabar tersebut, para petinggi kampung yang sebelumnya juga menemukan seorang pemuda,meminta agar gadis tersebut di bawah ke “Mieno Wamelai “ untuk mempertemukan keduanya. Betapa terkejutnya mereka, setelah dipertemukan ternyata keduanya mengaku sebagai suami isteri, sehingga oleh para petinggi kampung yang berjumlah delapan kampung menikahkan kembali mereka dengan prosesi adat Wuna sekaligus mengangkat Bheteno Netombula sebagai pemimpin tertingi. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, Bheteno Netombula memproklamirkan berdirinya Kerajaan Wuna dan menetapkan dirinya sebagai Raja I.
Untuk mengunjungi Napabale tidak terlalu sulit. Angkot siap mengantar anda setiap saat saat dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dari kota Raha dan tarif Rp.3.000,- anda sudah sampai di Napabale. Jadi Tunggu apa lagi???? Sebab keramahan penduduk juga sudah siap menerima kedatangan anda.
Sebagai destinasi wisata yang unik, maka sayang bila anda tidak mengunjunginya, apalagi anda berada di Kabupaten Muna. Dengan mengunjungi Napabale berarti anda telah melakukan dua kinjungan wiaata dalam waktu yang bersamaan, yaitu wisata alam dan Wisata Budaya. ( Aliem )

Sebagian Dari Sejarah Kerajaan Muna


                                
Tinjauan dari Aspek Ketatanegaraan
                                   Oleh: Laode Abadi Rere – Pemerhati Budaya

Kelompok manusia yang hidup di suatu tempat tertentu dan menunjuk seorang menjadi pemimpin mereka yang disebut Raja, itulah awal dari kepemimpinan. Tempat mereka menetap disebut Kerajaan dan kelompok manusia dalam kerajaan tersebut adalah Rakyat. Sedangkan rakyat yang mendiami wilayah tertentu dengan batas-batas negara yang sudah disepakati, menduduki wilayah tersebut disebut Penduduk.
Adapun unsur-unsur yang harus dimiliki oleh masyarakat politik supaya ia dapat dianggap sebagai Negara termasuk Negara Kerajaan kemudian berlanjut membentuk sistem Ketatanegaraan. Menurut Oppenheim Lauterpacht, seperti yang dikutip Solly Lubis Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dalam bukunya Ilmu Negara, mengatakan bahwa pertama adalah keharusan pada rakyat. Dengan demikian ide atau cita-cita untuk bersatu, adalah penting untuk dapat membentuk suatu bangsa yang akan hidup dalam suatu negara dengan identitas yang sama. Rakyat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu ini merupakan unsur dari negara.
Rakyat atau penduduk jika mempunyai identitas yang sama secara geografis-ekolologis dan demografis serta faktor historis, politik sosial,budaya,bahasa yang sama kemudian menjadi suku bangsa yang sama. Selanjutnya rakyat dapat membentuk Negara dengan Ketatanegaraan dan kemudian penduduknya disebut Warga Negara.
Persyaratan tersebut di atas jika dikaitkan dengan eksistensi rakyat Muna, menurut J. Couvreur dalam bukunya tentang Etnografisch Overzicht van Moena terjemahan Rene van den Berg dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, bahwa asal usul rakyat pulau Muna disuguhkan dua cerita yaitu cerita pertama : Dikisahkan bahwa Nabi Muhammad yang pertama kali menemukan pulau Buton dan pulau Muna. Kedua pulau tersebut baru saja muncul dari permukaan laut serta masih merupakan rawa-rawa berlumpur yang belum dapat ditumbuhi atau dihuni oleh apapun juga. Setelah menemukan pulau ini, Nabi Muhammad kembali kepada Allah memberitahukan apa yang telah dilihatnya, kemudian Nabimenambahkan bilamana allah menghendaki tanah-tanah tersebut dikeringkan kira-kira akan terdapat daratan yang akan sama dengan Tanah Rum (Turki atau Eropa). Allah lalu bertanya kepada Nabi Muhammad, dimana Nabi Muhammad melihat daratan tersebut? Jawaban Nabi Muhammad, “Di bawah daratan Turki (atau Eropa)” (dalam bahasa Muna we ghowano witeno Rumu). Allah kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad, “Nama apa yang harus diberikan kepada tanah itu?” Nabi Muhammad menjawab, “ Butuuni “ (arti nama itu tidak diketahui). Allah lalu membuat daratan tersebut. Menurut tradisi ini orang pertama yang menetap disini adalah keturunan roh-roh.
Cerita yang ke dua, dikisahkan bahwa dahulu kala ditempat ini semuanya digenangi air. Pada suatu hari berlayarlah di laut ini sebuah perahu, di dalamnya berada seorang lelaki yang bernama “Sawirigadi” (Sawerigading). Perahu tersebut terbentur pada batu karang di bawah permukaan air lalu terdampar. Sawerigading adalah putra Raja Luwu, dan dia dilahirkan ibunya bersama dengan seekor ayam kuning sehingga dianggap sebagai orang mulia. Karena terbenturnya perahu tersebut pada ujung batu karang di bawah permukaan air itu, maka dengan tiba-tiba muncullah daratan besar dari permukaan laut, yaitu pulau Muna sekarang ini. (Perlu dicatat bahwa gunung tempat terdamparnya perahu Sawerigading itu masih dapat ditunjukkan. Nama gunung itu sampai sekarang terdapat sebuah batu besar yang menyerupai perahu)Setelah terdampar perahunya, berjalanlah Sawerigading di atas daratan yang baru muncul itu sampai pada Wisenokontu artinya didepan batu (disekitar kampung Tanjung Batu sekarang). Setelah itu Raja luwu mengutus beberapa orang untuk pergi mencari perahu Sawerigading dan sebagian dari orang-orang ini konon menetap disini dan merupakan penghuni pertama pulau Muna dan kemudian mereka mendirikan suatu koloni yang mereka namakan Wamelai. ( Arti nama ini tidak lagi deketahui), namun sampai sekarang nama ini menjadi kampung Wamelai dan hingga sekarang masih ada di Muna, akan tetapi kini merupakan bagian dari kampung Tongkuno. Mata pencaharian mereka berburu dan sebagian kecil bertani.
Setelah beberapa lama mereka menetap disini, maka sebagian dari orang yang terdiri atas laki-laki itu kembali ke tempat asal mereka untuk mengambil istri-istri dan anak-anak mereka yang tertinggal di sana untuk dibawah ke Muna dan sekembalinya mereka, maka atas musyawarah bersama lalu ditunjuklah seorang kepala yang diberi gelar “mino Wamelai”. (Orang Wamelai)
Demikian juga dikatakan oleh Oppenheim Lauterpacht, bahwa yang dimaksud dengan rakyat adalah kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan atau memiliki warna kulit yang berlainan dan jika hal ini dikaitkan dengan peristiwa asal usul mulanya penduduk Muna sebagaimana dijelaskan oleh J.Couvreur di atas, maka jelas rakyat Muna pertama yang mendiami Pulau Muna adalah orang WamelaiKedua, keharusan ada daerah. Faktor ini terkait dengan faktor identitas suatu suku bangsa yaitu mengenai faktor geografis-ekologis dan demografis,biasanya disebut Faktor Obyektif. Untuk menentukan terbentuknya suatu negara terdapat beberapa teori tentang negara, antara lain seorang iIlmuwan terkenal Plato mengatakan bahwa luas negara itu harus diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidaknya negara memelihara kesatuan di dalam negara itu, oleh karena negara itu sebetulnya pada hakekatnya merupakan suatu keluarga yang besar. Oleh sebab itu negara tidak boleh mempunyai luas daerah yang tidak tertentu.
Faktor Subyektif mengenai persyaratan tersebut, yaitu faktor historis, politik, sosial, budaya dan bahasa, jika dikaitkan dengan wilayah Penduduk Muna ditinjau dari segi bahasa yang digunakan, maka daerah Muna cukup luas meliputi sebagian besar wilayah Penduduk Buton, hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan masyarakat wilayah Muna juga digunakan oleh sebagian besar masyarakat Buton namun dialeknya yang berbeda, sehingga sebagian besar masyarakat Buton sebenarnya masuk Suku Muna karena bahasa asli Buton hanya digunakan oleh masyarakat yang berdiam disekitar kota Bau-bau dan wilayah Keraton dan selebihnya mengunakan bahasa Muna.
Awal pembentukan wilayah didasarkan kesepakatan antara dua negara atau lebih, dan bahasa merupakan salah satu unsur terbentuknya bangsa, maka antara Muna dan Buton telah bersepakat menentukan batas-batas wilayah, yaitu wilayah Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara merupakan Daerah Muna, sedangkan bagian Selatan Pulau Muna merupakan wilayah Buton.
Ketiga, keharusan ada Pemerintahan yang berdaulat. Jika hal ini dikaitkan dengan eksistensi kerajaan Muna, maka penunjukan Ibu Kota Kerajaan Muna di Kota Muna pada Tahun 1321, Pembangunan Benteng Pertahanan, Pembangunan Istana Kerajaan atau Kamali, Pembangunan Rumah para pejabat Kerajaan dan Pembangunan Mesjid Besar di Kota Muna atas persetujuan Syarah Muna, menunjukkan bahwa aktivitas pemerintahan kerajaan Muna terpusat di Kota Muna, letaknya sekitar 23 Kilometer dari Kota Raha sekarang. Dan menurut J.Couvreur benteng dikota Muna dibangun oleh roh-roh halus, dan terbuat dari tembok batu setinggi empat meter, dengan ketebalan tiga meter dan panjang keseluruhan tembok sekitar 8.073 meter.
Namun setelah Raja Muna Laode Ahmad Makutubu Istana Kerajaan Muna atau Kamali dibangun di Kota Raha yaitu di Tula atas persetujuan Syarat Muna dan disebut Kamali Panda. Dan Raja Muna Laode Fiu M.Shalihi membangun Kamali di Loghiadan yang sekarang ke dua kamali ini dikelola oleh Laode Shalihi mantan Kepala Distrik Katobu, anak dari Raja Muna Laode Fiu. M.Shalihi. Selain kedua Kamali tersebut di atas, Raja Muna Laode Fiu membangun Kamali di Masalili.
Pada Tahun 1928 Raja Muna Laode Rere membangun Istana atau KamaliWamelai, letaknya sekarang iniberdiri bangunan gedung pertemuan Wamelai atau persisnya di depan kantor Camat Katobu bagian atas. Bangunan Kamali ini dibangun oleh ahli pertukangan dari Buton dengan tiang bangunan (katubo) sebanyak 99 katubo, ruang pertemuan, ruang istrahat Raja, ruang keluarga. Bersamaan pembangunan Kamali Wamelai selesai, Raja Muna Laode Rere diberhentikan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda. Selanjutnya Raja Muna Laode Rere tidak berniat lagi untuk menempati Kamali tersebut karena Kamali adalah milik Syarah Muna, meskipun Syarah Muna ketika itu menyarankan kepada Laode Rere agar Kamali yang dibangun tersebut tetap ditinggali, namun Raja Muna Laode Rere tidak bersedia.
Padahal saat itu Laode Rere tidak mempunyai rumah dan terpaksa Laode Rere membongkar Kamali yang pernah ditempati Saudara sepupunya yaitu Raja Muna Ahmad Makutubu dan memindahkan ke tanah yang dibeli dari La Kalende letaknya di depan penjara atau sekarang didepan rumah jabatan Rumah Tahanan (Rutan) Raha, yaitu di jalan Basuki Rahmat No.16.Syarah Muna mendengar bahwa Kamali Tula dibongkar dan dipindahkan kedepan Penjara, segera menemui Laode Rere dan meminta agar rumah yang sedang dibangundi depan Penjara atau sekarang di depan Rutan Raha juga dijadikan Kamali. Istana atau kamali bukan asal bangunan akan tetapi rumah raja yang dibangun atas persetujuan Syarat Muna atau dalam bahasa Muna Dofongkorae Syarah, dan jumlah Kamali yang dibangun atas persetujuan Syarah ada tiga buah yaitu di Kota Muna, di Kota Raha ada dua yaitu Kamali Panda dan Kamali Wamelai.
Rumah Raja Muna Laode Rere didepan Rutan sekarang masih berdiri, jika dilihat dari sejarahnya merupakan Kamali karena Dofongkorae Syarah Muna, namun sudah hampir roboh. Padahal panjang rumah tersebut awalnya lebih kurang seratus meter kebelakang dengan bentuk sama dengan Kamali Panda La Ende, namun Kamali ini dibongkar untuk perubahan bentuk oleh keponakannya yaitu almarhum Laode Walanda, namun tidak selesai dan sekarang tinggal sisa sebagaimana dapat dilihat persis berhadapan dengan rumah jabatan Rutan Raha.
Demikian pula Kamali Wamelai yang dibangun oleh Raja Muna Laode Rere dibongkar oleh cucunya, yaitu Laode Kaimuddin Bupati Muna saat itu dan merubah dengan mengganti gedung yang digunakan untuk pertemuan sekarang dengan tetap menggunakan nama Wamelai. Padahal Istana Raja Muna tersebut sebelum dirobohkan sekitar Tahun 1980 an pernah ditempati kantor Polres Muna dan masih terlihat bentuk bangunan dengan 99 tiang atau 99 katubo yang menggambarkan 99 sifat-sifat Allah SWT yang terdapat dalam kitab suci Al – Qur ’an.
Silsilah Dinasti Kerajaan Muna, yaitu dimulai dari Raja Muna pertama sampai Raja Muna terakhir adalah sebagai berikut: pertama La Eli atau Baidulzaman gelar Betheno Ne Tombula, memerintah Tahun 1321-1350, kedua La Aka atau Sugimpatola gelar Kagua Bangkano Fotu, memerintah Tahun 1350-1365, ketiga Sugimpatani, memerintah Tahun 1365-1415, keempat Lambona (Sugiambona) memerintah Tahun 1415-1444, kelima Sugi La Ende memerintah Tahun 1444-1479, keenam Sugimanuru memerintah Tahun 1479-1527, ketujuh Lakilapontoh memerintah Tahun 1527-1530 juga merangkap Raja Wolio ke-6/Sultan Buton I, kedelapan Raja Laposaso memerintah Tahun 1532-1555, kesembilan Rampai Somba memerintah Tahun 1555-1600, kesepuluh Titakono memerintah Tahun 1600-1625, kesebelas Laode Saaludin memerintah Tahun 1625-1626, keduabelas Laode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea memerintah Tahun 1926-1667, ketigabelas Laode Abdurachman gelar Sangia La Tugho memerintah Tahun 1671-1716, keempatbelas Laode Husain gelar Omputo Sangia memerintah Tahun 1716-1767, kelimabelas Laode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo Kamukula, keenambelas Laode Umara, ketujuhbelas Laode Harisi gelar Omputo Negege, kedelapanbelas Laode Mursali gelar Sangia Gola, kesembilanbelas Laode Sumaili gelar Omputo Nesombo, keduapuluh Laode Saete memerintah tahun 1816-1830, keduapuluh satu Laode BulaEng gelar Sangia Laghada memerintah Tahun 1830-1861, keduapuluh dua Laode Ahmad Makutubu gelar Milano Tekaleleha Tula memerintah Tahun 1907-1914, keduapuluh tiga Laode Fiu M.Saiful Anami memerintah Tahun 1919-1922 dan terakhir adalah Raja Muna keduapuluh empat Laode Rere gelar Arowuna memerintah Tahun 1925-1928.
Pada Tahun 1767 sampai 1800 di Pemerintahan Kerajaan Muna terdapat pengangkatan Raja berasal dari luar Dinasti Kerajaan Muna, dan Raja Muna dimaksud dengan sebutan Raja Pengganti atau Pelaksana Tugas Raja dan di Kerajaan Muna di sebut Solewata Raja karena mereka tidak diangkat oleh Syarah Muna, akan tetapi langsung ditunjuk oleh Belanda dan bekerja sama dengan Sultan Buton, antara lain yaitu pertama Laode Tumawo, jabatan Kapitalao Lakologou di Buton, kedua Laode Ngkumabusi, putra kino Lolibu di Buton, ketiga Laode Malei, putra pejabat tinggi di Buton, keempat Laode Sa Aduddin, Kelima Waode Wakelu.
Pengangkatan Raja Muna tanpa persetujuan Syarah Muna tentu mendapat penolakan dari Rakyat Muna, namun karena intervensi dari Belanda maka Syarah Muna tidak berdaya dan karena dianggap Syarah Muna sebagai penghalang pengangkatan Raja Muna oleh Belanda, akhirnya pada Tahun 1910 Belanda membubarkan Syarah Muna. Meskipun Syarah Muna telah dibubarkan Belanda, namun secara devakto tetap berfungsi sebagai Lembaga Adat Muna dan sebagai bukti sejarah yaitu pengangkatan Laode Dika sebagai Lakina Muna oleh Pemerintahan Belanda,namun oleh Syarah Muna tetap mengangkat Laode Dika sebagai Raja Muna.
Menurut Sejarah Muna Laode Dika merupakan Raja Muna terakhir yang diangkat oleh Syarah Muna. Konsekwensi logis bila pengangkatan Raja Muna tanpa persetujuan Syarah Muna, maka segala akibat dari keputusannya tidak akan berlaku bagi masyarakat Munaatau ditolak rakyat Muna.
Berdasarkan uraian diatas, secara ketatanegaraan Kerajaan Muna adalah Kerajaan yang berdaulat artinya kekuasaan tertinggi berada ditanganPemerintahan Kerajaan Muna. Namun DR.Ir. Mujur Muif AM,MSc menulis buku dengan judul UU Martabat Tujuh, Sumber Filosofis Pancasila sebagai Landasan Sistem Demokrasi Ketuhanan Di dalam Pemerintahan Dunia, membuat Silsilah Pemerintahan Kerajaan Muna dan menempatkan Kerajaan Muna sebagai Bharata dalam Kesultanan Buton.Apa yang ditulis oleh Mujur Muif AM tidak sesuai dengan dokumen Sejarah.Suatu hipotesa yang sangat dangkal, tanpa adanya penggalian dan kajian yang mendalam tentang sejarah dan pelaku sajarah.
Sanggahan pertama : Kesultanan Buton sejak Tahun 1887 merupakan bagian atau bharatanya Belanda atau jajahan Pemerintah Belanda (baca dokumen Sejarah Kebudayaan Sultra di Arsip Nasional).Sedangkan Kerajaan Muna adalah kerajaan yang berdaulat sampai Raja yang ke duapuluh empat yaitu Raja La Ode Rere yang bergelar Arowuna yang berkuasa tahun 1925-1928. Raja Laode Rereadalah merupakan dinasti terakhir dari Raja Muna dan Laode Rere adalah Raja Muna yang tidak tunduk kepada Pemerintahan Belanda.
Kedua, J.Couvreur sendiri seorang kebangsaan Belanda yang pernah menjadi Controlir Onderafdeling Muna atau setingkat Bupati pada Pemerintahan Kolonial Belanda pada Tahun 1933 sampai 1935, menulis Buku tentang Sejarah Kebudayaan Munamengatakan, bahwa tidak ada bukti Sejarah kerajaan Muna adalah bagian dari Kesultanan Buton atau Bharatanya Buton.
Ketiga, jika alasannya karena ada orang Buton menjadi Raja di Muna, juga kurang berdasar. Karena Sultan Buton pertama Lakilaponto merangkap Raja Muna VII adalah anak dari Raja Muna VI Sugimanuru, selanjutnya Latumparasi Sultan Buton II juga orang Muna adalah anak dari Lakilaponto dan La Sangaji Sultan Buton III juga orang Muna adalah anak dari Lakilaponto, namun Orang Muna tidak pernah mengatakan bahwa Kesultanan Buton adalah Bharatanya Kerajaan Muna hanya karena alasan penempatan pimpinan pemerintahan yang berasal dari keturunan Kerajaan Muna.
Keempat,Raja Muna Laode Rere pernah bertengkar dengan Sultan Buton Laode Hamidi masalah batas, yaitu di Kusambi Ramba dekat Waniba Lakepera perbatasan Muna dan Buton. Sultan Buton saat itu melontarkan kata-kata memojokan Raja Muna dengan ucapan Muna bharataku. Raja Muna tersinggung dengan ucapan Sultan, sehingga saling menyerang dengan kata-kata dan akhirnya sebelum berpisah mereka bersumpah tentang kebenaran mereka masing-masing. Beberapa tahun kemudian Laode Hamidiwafat karena sakit. Raja Muna berpesan kepada Laode Hadi anak Sultan, bahwa orang Buton dan Muna jangan bermusuhan mengikuti kami orang tua. Dan alhamdullillah antara Laode Badia anak Raja dan Laode Hadi anak Sultan sangat bersahabat dan tidak melihat ada perbedaan antara kerajaan Muna dan Kesultanan Buton sebagaimana ditulis Mujur Muif AM.
Demikian fakta sejarah yang didapat dari dari nara sumber yang faliditasnya tidak diragukan. Semoga menjadi tonggak sejarah penerus suku Muna dan Buton yang memang bersumber dari keturunan yang sama yaitu berasal dari Raja-Raja Muna dan Raja-Raja Buton yang berkuasa di kawasan Kerajaan Muna dan Buton, kemudian dengan datangnya Islam membentuk Kesultanan Buton. Akibat dari penjajahan kolonial Belanda di kawasan ini dengan politik Belanda yang sangat terkenal yaitu devide et empera maka sengaja dibuat perpecahan,perdebatan bahkan pertengkaran antara Muna dan Buton, oleh karena itu kita sebagai penerus, jangan ikuti politik devide et empera dengan membengkokkan sejarah. Marilah kita terima sejarah yang sudah terjadi dan menjadi pelaku sejarah untuk masa datang.

'Modhi, Baca-baca dan Lapa-lapa' Tradisi Masyarakat Muna Menyambut Ramadhan dan Lebaran

Lapa-lapa, makanan tradisional Muna, Foto ; http://sphotos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/391437_183597171722423_40491464_n.jpg


Saya adalah orang Muna, dan kami orang muna punya kebiasaan yang menurut saya berbeda dengan suku kebanyakan dinegeri ini dalam Hal menyambut Puasa dan Lebaran, suku muna merupakan salah satu suku yang berada di Pulau sulawesi, lebih tepatnya ada diKabupaten Muna Sulawesi Tenggara, tepat di Kaki paling depan di Pulau Sulawesi yang berbetuk huruf K
Orang muna dalam menyambut Ramadhan dan Bulan Syawal, Khususnya dalam hal makanan, kalau di Pulau Jawa (menurut pengalaman di Jawa Timur) makanan awal puasa merupakan makanan yang sehari-hari dimakan oleh keluarga itu, sedangkan kami orang Muna makanan yang kami sediakan cukup bervariasi, ada ayam dengan bumbu, daging kambing atau sapi dan sayurnya pun sayur yang hanya disediakan untuk menyambut hari-hari penting, yaitu “Sayur Konduru dengan gulai kelapanya” pasti belum pernah dengar, Nasinya pun diganti dengan “Lapa-Lapa” yang dibuat dengan porsi yang banyak yang cukup dimakan untuk seminggu lebih.
Untuk menyambut Ramadhan dan Lebaran Tiap keluarga di Suku kami pasti melakukan prosesi “Baca-baca” yaitu sebutan kami untuk Syukuran bagi orang kebanyakan, tetapi dalam prosesi “Baca-baca” kami sempatkan mengirim do’a untuk keluarga kami yang sudah meninggal yang pada tahun itu tidak bisa mengikuti Puasa dan Lebaran, biasanya nama-nama keluarga yang sudah meninggal dalam prosesi itu bisa sampai Tujuh tingkatan diatas kami, di mulai dari kakek-kakek-kakeknya Buyut Kami dimana Makanan yang sudah disediakan sejak pagi itu tidak boleh disentuh oleh keluarga atau siapapun sebelum prosesi “Baca-baca” dilakukan sehingga apabila Baca-baca belum dilakukan maka kami hanya bisa menahan ngiler karena apabila disentuh maka kami pasti dimarahin oleh Bapak dan Ibu Kami dengan alasan yang sungguh bagi kami bahwa itu bukan alasan yang logis tapi menyentuh, orang tua kami selalu memarahi kami dengan kata-kata yang intinya ” saudaramu yang sudah meninggal yang gak bisa kut puasa dan lebaran itu aja belum dibaca-bacain kamu sudah main ambil makanan aja” begitulah, bagi kami orang Muna, “Baca-baca” di Bulan Puasa dan Lebaran merupakan tradisi penghubung kami dengan kerabat kami yang sudah tidak bisa berpuasa dan berlebaran bersama kami lagi..
Nah untuk Prosesi “Baca-Baca” ini dipimpin oleh “MODHI” yaitu semacam Juru Doa yang biasanya dalam satu kampung banyak mempunyai Modhi-modhi yang memang khusus mempunyai keahlian sebagai Juru Do’a, Bahkan dalam beberapa keluarga yang kaya mempunyai Modhi Khusus semacam MODHI KELUARGA yang untuk keluarga itu sendiri sehingga untuk keluarga tersebut setiap acara baca-baca pasti dipimpin oleh Modhi tersebut, nah setiap menjelang Puasa dan lebaran (biasanya Malam Pertama Puasa dan Malam Lebaran ) modhi-modhi inipun bergerilya mengelilingi desa, dengan hanya modal Tasbih dan Hafalan doa-doa untuk orang yang meninggal dan doa untuk kebaikan mereka mengais rezki, sehingga dengan apabila Modhi itu Laris manis diundang untuk memimpin Baca-baca dibanyak keluarga dikampung, yakinlah dia pasti banyak mendapat Uang tambahan untuk Puasa atau Lebaran esok harinya..bahkan untuk Modhi ini “Berkat” yang dibawa pulang pun lebih baik dari peserta lain yang ikut baca-baca, tapi tergantung dengan kemampuan yang empunya rumah yang mengundang Modhi tersebut.
Begitulah Tradisi kami sebagai orang Muna untuk Menyambut Puasa dan Lebaran
Salam Kompasiana
Muhamad Hazairin
Sumber : kompasiana.com

"Anomali" Dalam Cerpen La Rangku

Kaghati, Layang-layang tradisional Wuna, Foto ; http://wisata-muna.blogspot.com

“Lantas, Bapak bercerita tentang layang-layang pertama, tentang Kaghati dari Muna; tentang seorang raja bernama La Pasindaedaeno yang mengorbankan anaknya, La Rangku, yang kemudian di makamnya tumbuh gadung; tentang layang-layang dari daun gadung dengan benang dari serat daun nanas, Kaghati, yang diterbangkan selama tujuh hari tujuh malam lalu benangnya diputus pada malam terakhir; tentang kepercayaan suku Muna pada Kaghati yang akan terbang mencapai matahari, dan memberkati mereka….” (“La Rangku”, halaman 19).
Itulah sebagian dari cerita pendek (Cerpen) “La Rangku” karya Niduparas Erlang. Karya itu merupakan pemenang lomba manuskrip cerpen Festival Seni Surabaya, beberapa waktu lalu, yang mengangkat tema anomali. Ada yang menyebutkan bahwa cerita-cerita dalam kumpulan cerpen tersebut merupakan kumpulan ketidaklaziman yang beredar dalam masyarakat modern.
Judul cerpen yang terangkum dalam kumpulan cerpen La Rangku tersebut ialah “Api Terus Menggelora dalam Matanya”, “La Rangku, “Tarawengkal”, “Pernikahan Itu”, “Balon Itu Menyimpan Sisa Napasnya”, “Re”, “Sayap Malaikat Ini Untukmu”, “Sesuatu Retak di Senja Itu”, “Aku Harus Tidur Purna”, “Gaco”, dan “Sula”. Cerpen-cerpen itu, secara langsung maupun tidak, bersinggungan dengan kebiasaan sehari-hari serta budaya dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Anomali merupakan bentuk dari ketidaknormalan, ketidaklaziman, kontradiksi, atau hal-hal yang terkait dengan sebuah pertentangan yang tidak bisa diterima begitu saja dengan pasrah. Itu sebabnya, ketika membahas cerpen ini di Rumah Dunia, Serang, Banten, Sabtu pekan lalu, berbagai macam sudut pandang atau perspektif bermunculan.
Ada yang menyebutkan bahwa cerita-cerita yang terangkum dalam cerpen tersebut merupakan cerita budaya yang coba kembali dikuak dalam kehidupan. Kutipan paragraf di atas bisa menjadi sebuah anomali yang besar dan konkret dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia, pada zamannya, memercayai kaghati, yakni sebuah layang-layang yang terbang selama tujuh hari tujuh malam dan mencapai matahari. Saat itu, kebiasaan mendongeng atau budaya literasi biasa dilakukan orang tua pada anaknya atau nenek pada cucunya.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan konteks kekinian, jangankan budaya bercerita dan mendengar, budaya membaca pun sudah mulai lekang. Hal itu dikarenakan derasnya arus globalisasi yang selanjutnya sulit dikontrol. Kebiasaan serta budaya dan kebudayaan lain juga bisa dimaknai dalam paragraf berikut. “Demikianlah, di kampung ini, tatkala didapati seorang warganya pergi jauh meninggalkan kampung-direnggut maut-maka para lelaki muda atau tua akan berbondong-bondong berdatangan ke rumah Sahibul Musibah dengan membawa kapak atau golok.
Mereka akan menebang pohon, menebang bambu, menebang batang pisang…dan membelah kayu bakar. Setumpuk kayu bakar-bukan untuk membakar almarhum-harus disiapkan demi melanggengkan tradisi tahlilan selama satu minggu ke depan.” (“Tarawengkal”, halaman 29-30).
Kehidupan Sehari-hari Terkait tema anomali yang telah ditetapkan panitia, Niduparas Erlang menjelaskan bahwa dirinya tidak terperangkap tema yang telah dibuat oleh panitia. “Saya punya beberapa cerpen yang pernah dimuat di media massa, baik lokal maupun nasional, dan juga karya yang belum sama sekali dimuat di media massa.
Lalu karya cerpen tersebut selanjutnya saya kirimkan ke lomba manuskrip cerpen Festival Seni Surabaya,” tutu dia saat diskusi digelar. Ade Dewi Oktaviana, seorang pembedah cerpen dalam diskusi, menyebutkan cerita-cerita dalam cerpen “La Rangku” sarat akan peristiwa kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kata dia, sang pengarang cukup fasih menggunakan bahasa dalam penulisan karyanya. “Inilah yang selanjutnya menjadi salah satu modal bagi penulisnya ketika melancarkan ide-idenya dalam sebuah cerita. Dengan kata lain, kata, diksi, atau bahasa tidak hanya dijadikan peranti cerita, tetapi juga dijadikan kekuatan dalam cerita. Hal ini pulalah yang selanjutnya membuat cerpen “La Rangku” kaya akan bahasa atau diksi-diksi segar,” tutur Dewi. frans ekodhanto
Sumber : Koran Jakarta,  Edisi Digital

'Katoba' Dalam Tradisi Masyarakat Muna

Gadis Wuna Menunggang Kuda, Foto : Lm. Sahar Ndoasa


Kata Katoba beradal dari kata toba. Kata toba ini sendiri dapat dipastikan berasal dari bahasa Arab yakni taubah yang berarti menyesal. Secara harfiah taubah dapat berarti menyesali semua perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Dalam bahasa Indonesia, kata taubah diserap menjadi kata taubat. Orang yang sudah bertaubat artinya akan kembali ke ajaran Islam dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Kata toba dalam masyarakat muna dapat berarti suci, artinya mengembalikan sesuatu ke keadaan suci atau menjadikan sesuatu menjadi suci. Kata katoba sendiri dapat berarti penyucian. Seorang anak yang ‘di-katoba’ berarti mengembalikan anak itu ke keadaan suci, untuk menjadi Islam sejati. Pada zaman dahulu, anak yang belum ‘dikatoba’ belum diperkenankan untuk menyentuh kitab Alqur’an, masuk ke dalam mesjid ataupun mendirikan sholat sebab anak tersebut belum suci. Namun saat ini seorang anak walaupun belum ‘dikatoba’ sudah dapat belajar membaca Al Qur’an, belajar sholat, berpuasa dan lain-lain. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa “dikatoba” berarti diislamkan. Katoba dapat berarti pengislaman.
Proses Katoba (Pengislaman)
Sebelum masuk ke acara katoba, seorang anak yang berumur antara 6 – 12 tahun harus dikhitan dahulu baik laki-laki maupun perempuan. Apabila anak sudah dikhitan, maka anak tersebut sudah bisa diislamkan (dikatoba). Proses khitanan ini dapat dilakukan pada waktu yang sama artinya setelah anak dikhitan, selanjutnya langsung ‘dikatoba’ atau dapat juga dikhitan saja dahulu sedangkan acara ‘katoba’ dapat dilakukan lain waktu.
 
Hal-hal yang diajarkan dalam Katoba
Yang diajarkan kepada anak dalam katoba adalah sebagai berikut:
  1. Mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana orang yang baru masuk memeluk agama islam.
  2.  Seorang anak harus menghormati dan menghargai orang tua laki-laki karena orang tua laki-laki itu sebagai pengganti Allah SWT. Orang tua laki-laki disini bukan hanya yang menjadi ayahnya tetapi semua orang tua yang hampir seumur atau lebih tua dari ayahnya harus dihormati dan dihargai.
  3.  Seorang anak harus menghormati dan menghargai orang tua perempuan karena orang tua perempuan itu sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. Orang tua perempuan disini bukan hanya yang menjadi ibunya tetapi semua orang tua yang hampir seumur atau lebih tua dari ibunya harus dihormati dan dihargai.
  4.  Seorang anak harus menghormati dan menghargai kakak karena kakak sebagai pengganti Malaikat Jibril. Kakak disini bukan hanya yang menjadi kakaknya tetapi semua orang yang lebih tua darinya harus dihormati dan dihargai.
  5.  Seorang anak harus menghargai dan menyayangi adik karena adik sebagai pengganti semua kaum mukminin. Adik disini bukan hanya yang menjadi adiknya tetapi semua orang yang lebih muda darinya harus dihargai dan disayangi
Setelah kelima hal di atas diajarkan kepada sang anak, selanjutnya sang anak diperkenalkan jenis-jenis air yang dapat menyucikan. Air-air tersebut di antaranya adalah oeno ghuse (air hujan), oeno kamparigi (air sumur), oeno tehi (air laut), oeno aloma (air embun), oeno saliji (air salju/es), oeno laa (air telaga/sungai) dan oeno lede (air ledeng).
Selanjutnya seorang anak diajarkan bahwa ia harus menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dalam tahap anak sangat ditekankan harus menjauhi larangan Allah misalnya tidak boleh mencuri, tidak boleh berjudi, tidak boleh meminum minuman beralkohol dan lain-lain. Selain itu sang anak juga diajarkan agar peduli terhadap lingkungan misalnya tidak boleh merusak tanaman/pepohonan, kalau melihat batu di jalan raya sang anak harus menyingkirkannya agar orang lain yang melewati jalan itu tidak tersandung batu tersebut, dan lain-lain. Ditekankan pula bahwa apabila telah diislamkan maka sang anak tidak boleh lagi memperlihatkan auratnya kepada yang bukan muhrimnya.
Setelah semua hal di atas selesai dilakukan maka selanjutnya adalah Imam membacakan doa kepada anak-anak yang telah diislamkan, dalam acara pembacaan doa ini didahului dengan acara bakar dupa dan tidak lupa pula “haroa” atau sesajian harus ada. Namun sesajian di sini bukan berarti untuk menyembah berhala akan tetapi isi sesajian di sini adalah nasi, ayam goreng, ayam gulai, cucur, wajik, kue srikaya, telur rebus, telur goreng, pisang goreng, pisang masak yang belum dikupas dan aneka kue lainnya. Isi haroa ini tidak boleh diambil/dimakan oleh orang lain dan hanya dapat dimakan oleh anak yang menjalani proses katoba, namun isi haroa tadi jika tidak dapat dihabiskan oleh sang anak, maka dapat juga diberikan kepada orang lain dan hanya anak tersebut yang dapat memberikannya, tidak boleh diwakili.